Pages - Menu

Pelajaran Cinta

CERPEN
Oleh  Juven’s*

Pikiranku menerawang. Bayangan Tiwi melintas dengan jelas.
Oh God!, kenapa aku mesti menyukai gadis itu?

Tiwi, Miss Populer, anak orang kaya, jago menari, dan super cantik, mana mungkin mau melirik cowok biasa seperti aku. Apalagi aku tahu banget kalau hari-hari Tiwi nggak pernah sepi dari cowok-cowok ganteng yang super keren, yang tahu caranya membahagiakan cewek, seperti Ferdi, Yoga, Ageng, dan sederet nama cowok ganteng lain di sekolah ini, yang bisa kusebut. Sementara aku? Ah, ... aku berani taruhan, mustahil Tiwi melirik aku apalagi memikirkan aku. Benar-benar pikiran gila!!
       Tanganku mulai memainkan pena. Hanya di dalam buku ini aku berani meng-ungkapkan perasaan tersembunyiku ter-hadap Tiwi. Bahkan untuk menceritakannya pada sahabatku, Muhtar, Jarwanto, aku tak punya nyali. Aku terlalu malu dan takut nanti akan ditertawakan.
       Hari ini lagi-lagi aku mengamati Tiwi dari kejauhan.... Meski begitu, aku sudah senang. Mungkin ini memang yang terbaik, yaitu menjadi pengagum rahasianya, mengaguminya diam-diam, menyukainya dengan sembunyi-sembunyi.
       Aku lemparkan tubuhku ke atas kasur. Kutatap langit-langit kamar. Di sana aku menemukan wajah bening Tiwi sedang tersenyum manis ke arahku. Kupejamkan mata. Tapi ughh!, mengapa begitu sulit melenyapkan bayangan gadis itu dari kepalaku.
* * * * *
       “Hei Joe!” Sebuah suara memaksaku untuk menoleh ke belakang.
       “Tiwi?! A..a...pa... itu benar-benar Tiwi!”
Aku tak mempercayai pandangan mataku. Dari mana cewek itu tahu namaku? Dan angin apa yang membawa gadis itu menemuiku? Buatku ini benar-benar surprise! Ya ampun, .... kayaknya tadi malam aku nggak bermimpi apa-apa.
       “Kamu benar-benar Joe, kan?” tanya Tiwi dengan senyum mempesona.
       Kerongkonganku seolah tercekat sehingga aku tak bisa bersuara. Aku hanya bisa mengangguk kikuk sebagai jawaban. Tiba-tiba Tiwi mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri dengan sikap yang .... Oh God, terlihat sangat simpatik di depanku. Apa ada cewek yang begitu sempurna seperti cewek di depanku ini? Aku membalas uluran tangannya dengan pelan sambil menyebutkan namaku.
       “Joe, .... It’s OK kan kalau aku panggil kamu begitu?” tanya Tiwi meminta izin. 
       Betapa bangganya aku ketika berpasang-pasang mata di sekitarku menatapku.
       “Kamu salah satu penulis di majalah sekolah kita kan?” tanya Tiwi begitu aku duduk dengannya di kursi yang cukup strategis dan nyaman untuk ngobrol.
       “Gini, aku pengen minta tolong, boleh?”
       “Boleh”, jawabku seperti orang dihipnotis.    “Aku kan lagi ikutan kampanye pemilihan OSIS di sekolah. Nah, boleh nggak aku minta tolong kamu untuk muatin profilku? Ya, supaya penghuni-penghuni di sekolah ini lebih kenal dekat sama aku. Bisa?”, tanya Tiwi dengan muka harap-harap cemas.  Ampuunn .... wajahnya benar-benar cute.
       “Bisa ... bisa....! Nanti aku bilang ke temen-temen di kru majalah”, balasku.
       Aku senang banget. Ini kesempatan emas! Kapan lagi coba, aku punya kesempatan untuk bisa kenal dan dekat dengan  bintang sekolah?
* * * * *
       Sudah seminggu ini aku dekat dengan Tiwi. Meski itu lebih disebabkan proyek penulisan profil Tiwi yang sedang aku garap. Aku sudah cukup senang. Apalagi Tiwi ternyata sangat friendly dan menyenangkan saat diajak bicara. Pernah saat aku sedang mewawancarainya, Tiwi mengingatkan aku apakah sudah makan atau belum.
       “Jangan sampe sakit gara-gara ini lho Joe!” ujar Tiwi dengan penuh perhatian dan terlihat tulus. Aku bahagia bukan main diperhatikan seperti itu. Sama Tiwi gitu lho!
       “Hati-hati Joe, .... Jangan sampe lo mabuk trus lupa diri. Kaki lo masih nginjak bumi, kan?”, ucap Muhtar suatu kali ketika aku nggak berhenti-henti mengungkapkan kekagumanku pada Tiwi. Tapi, aku sudah nggak peduli. Terserah semua mau ngomong apa. Yang jelas hatiku sekarang lagi senang dan berbunga-bunga. Hingga suatu hari tanpa disengaja ..... 
       “Wah, kelihatannya lo makin lengket sama cowok cupu itu?”
       “Kalau bukan karena gue butuh dia, males banget kaliii, lo tahulah selera gue”.
Lalu dua gadis itu tertawa dengan suara keras.
       “Mana mungkin gue mau gaul sama cowok nggak berkelas kayak die. Emang sih, gue mempertaruhkan reputasi banget. Tapi, untuk suksesnya kampanye gue, nggak papalah berkorban dikit, tul nggak?”, ucap Tiwi sinis tanpa perasaan.
       Hatiku remuk bagaikan terhempas palu godam. Aku sungguh tak percaya hal ini terjadi. Aku lihat gadis yang kukagumi sudah berkata begitu!
       “Ya Tuhan ..., kenapa ada manusia setega dan sejahat itu!”, keluh hatiku.
       Aku tak sanggup menghadapi hatiku yang guncang. Ku tinggalkan tempat itu. Aku menangis dalam batin, ingin rasanya aku menelpon Tiwi lalu membatalkan penulisan profil cewek itu di majalah. Ternyata Tiwi hanya kelihatan bagus dari luar.
       “Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku marah, muak. Aku benci dia!! Sekarang apa yang harus kuperbuat?”, jerit hatiku dalam doa.
* * * * *
       “Joe, makasih banget yah, tulisan kamu bener-bener bagus. Sebagai ucapan terima kasih, aku traktir kamu makan, gimana?”, tawar Tiwi semangat.
       “Nggak perlu, makasih!”
       “Kamu sakit?”, tanya Tiwi.
       “Oke, tugasku udah selesai! Dan sekarang kamu nggak perlu nerusin sandiwaramu. Semoga kampanyemu sukses, OK!”, ujarku dingin, kemudian berlalu dari hadapan Tiwi.
       Tiwi tersentak, mukanya merah, tiba-tiba saja dia dihinggapi suatu perasaan, entah, mungkin rasa bersalah atau malu.
       “Good for you, Joe. Lo udah ngelakuin hal yang benar. Kami bangga sama Lo”, hibur teman-temanku. Aku tersenyum, teman-teman benar, nggak ada gunanya mikirin cewek itu lagi.
       Hemm .... mungkin lewat ini Tuhan sedang mengingatkanku, apa yang kelihatan bagus di luar belum tentu dalamnya juga bagus. Dan Tiwi adalah salah satunya. Yah, inilah pelajaran cinta yang berharga banget buatku. Semoga tak akan terulang lagi.

*) Cerpenis, penulis kreatif di Majalah Cendekia. Saat ini duduk di kelas XII IPA1 SMAN 1 Bangunrejo. Tinggal di Watuagung, Kec. Kalirejo.