Pages - Menu

Manusia Tidak Luput Dari Salah


Setiap manusia itu tempatnya salah dan lupa. Maka sudah menjadi kewajiban kita-lah untuk selalu memohon ampun kepada-Nya. Serta rajin mencatat segala sesuatu supaya tidak mudah lupa dan gampang salah.

Saya rasa, kita semua memahami akan hal itu. Namun kenapa seringkali kita menutup mata akan fakta ini. Serta terus mencari-cari kesalahan orang lain, bahkan mengumbar-ngumbarnya ke orang? Sadarkah kita, bahwa mencari kesalahan orang lain itu sangatlah gampang….

Memang mencari kesalahan akan mudah dilakukan oleh orang-orang yang justru berpendidikan. Apalagi kalo setingkat graduate, wah pasti lebih jago lagi cara-cari kesalahan orang lain. Apalagi (lagi ya..) kalo seorang Profesor, mantan Penjahat eh maaf salah, maksut saya “Pejabat”, wa’ wa’ wa’ waduhwaduuuh pasti jago banget.

Sudah selayaknyalah kita meletakkan setiap hal pada porsinya. Istilah kerennya secara proporsional. Jangan dilebihkan dan jangan pula dikurangi. Memang sekecil apapun kesalahan yang diperbuat orang lain bila dibiarkan bisa berakibat fatal. Apalagi yang besar, wah... malah bisa mengganggu keseimbangan bersama…

Dan untuk itu memang harus diperbaiki, bahkan segera. Tapi lihat-liat caranya dulu dong…
Pantaskah menyalahkan individu ke khalayak ramai untuk kesalahan yang bersifat pribadi? Pantaskah menjelek-jelekkan orang lain ketika kita punya pandangan yang berbeda? Pantaskah kita mengubur mimpi orang lain ketika kita lihat dia menyindir kita?

”JANGAN-JANGAN KITA MENYALAH-NYALAHKAN ORANG LAIN UNTUK MENUTUPI KESALAHAN KITA SENDIRI”. ATAU UNTUK MEMPERLIHATKAN KELEBIHAN KITA DENGAN MERENDAHKAN ORANG, ATAU KARENA KITA BELUM BEGITU MENGERTI atau DEWASA DALAM HAL KEWAJIBAN, TANGUNG JAWAB SEHINGGA SUSAH MENERIMA PENDAPAT ORANG LAIN” (Wa’,wo’wa’wo wo....wadoh waduuh wahuuuuhh... kalo diteruskan tambah jadi emosi aja ini, bahlole’…. Udah sampai sini aja dulu, “Kata-Bapak TeBe Kalo Ada .... Lariieeeeeeeeeeee...!!!!!!!!!

“Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, semut diseberang sana kelihatan”,(hei..hei... jangan cari-cari semut ya…)

Salahkan Vs Syukuri
Daripada kita terjebak hobi “menyalahkan pihak/orang lain” mungkin bisa kita ambil jalan bijaksana, jika dalam perjalanan hidup kita berinteraksi, ketika kita menginjak kerikil tajam yang melukai diri kita, daripada kita menyalahkan kenapa ada kerikil tajam yang menyakitkan dalam perjalanan relasi kita, lebih bijaksana kalau kita berpikir, syukur kerikil ini terinjak sekarang, maka kita bisa melangkah lebih hati-hati dalam meneruskan perjalanan relasi ini.

Berikut kisah ilustrasi yang bagus untuk kita simak bersama, bahwa dalam banyak kenyataan kita terjebak hobi tak terakui yaitu: “menyalahkan orang lain”.

Siapa Pencurinya

Pada suatu ketika, seorang perempuan sedang menunggu keberangkatannya di bandara, sedangkan masih ada beberapa jam sebelum jadwal keberangkatannya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di salah satu toko di bandara itu, lalu menemukan tempat untuk duduk.

Sambil duduk, perempuan tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya tersebut ia melihat seseorang disebelahnya, dengan begitu berani mengambil satu-dua kue yang berada diantara mereka berdua. Perempuan tersebut berusaha mengabaikan agar tidak terjadi keributan, demikian pikirnya.

Dia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si “pencuri” kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu, wanita itu sempat berpikir setiap ia mengambil satu kue, orang itu juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya dalam hati: “Sekarang, apa yang akan dilakukan orang itu?”

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si orang itu mengambil kue terakhir dan membaginya menjadi dua. Orang tersebut menawarkan separuh miliknya sementara ia makan yang separuhnya lagi. Dan dengan kasarnya wanita itu, merebut kue itu tanpa sedikit pun terbesit perasaan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal dalam situasi begini. Dia menarik napas lega saat penerbangannya diumumkan, dia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si “pencuri yang tak tahu terima kasih itu!”. Demikian geram dia berkata dalam hatinya!

Ketika sudah di dalam pesawat dan duduk di kursinya, la berusaha mencari buku, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada sekantong kue. Kok milikku ada di sini..? erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah milik orang itu dan ia mencoba berbagi kepadaku. Terlambat sudah baginya untuk meminta maaf, sebegitu malunya membuatnya tersandar di bangku pesawat mengingat perilakunya yang buruk terhadap orang tadi.
Sesungguhnya dialah yang kasar, dan tidak tahu berterima kasih! Dialah sesungguhnya pencuri kue itu.

Dalam hidup ini, kisah “pencuri kue” seperti itu sering sekali terjadi di kehidupan. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri, serta sering kali berprasangka buruk terhadapnya. Orang lainlah yang selalu salah, patut disingkirkan, tak tahu diri, berdosa, selalu bikin masalah, pantas diberi pelajaran. Padahal, kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu berterima kasih. Kita sering mempengaruhi, memberi komentar, mencemooh pendapat, memberi penilaian negatif, mencela gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tahu betul duduk permasalahannya.

Alam memang memberikan kita akal budi untuk berpikir, tetapi bukan berarti setiap masalah harus diselesaikan dengan mengandalkan akal budi semata, tetapi harus memahami apa yang ada di depan mata, menyadari situasi dan kondisi yang ada, yang sering kali sulit dapat dimengerti melalui akal budi, setiap penyesalan tidak akan pernah terjadi di awal, dan kita tidak akan pernah bisa memutarnya kembali seperti jam demi jam, waktu yang sudah terbuang per- cuma dalam perjalanan hidup ini.

Demikian juga ulah perempuan dalam kisah di atas, bagaimana bisa menemukan orang yang sudah dia salahkan, bagaimana bisa menyampaikan maafnya yang menuduh orang lain yang salah.
Kita memang hanyalah manusia yang tidak sempurna,

Pepatah mengatakan, tidak ada gading, yang tidak retak. Tetapi, hobi tak terakui yang kita punya, yaitu senang menyalahkan orang lain atau pihak lain untuk suatu yang tidak enak, yang tidak mau terjadi pada kita, adalah suatu hobi yang perlu kita terus awasi dan berlatih untuk mengikisnya, agar jiwa kita tidak menjadi penganutnya yang setia.